THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Film..Film..Film..

selamat menikmati kawan - kawan..

Rabu, 21 April 2010

3 Hari Untuk Selamanya..

Film kelima Riri Riza adalah road movie tentang dua orang yang sepupuan bernama Yusuf dan Ambar (Nicholas dan Adinia), keduanya baru lulus SMA, yang naik mobil dari Jakarta ke Jogja dengan misi mengantar seperangkat piring dan gelas antik untuk prosesi acara pernikahan kakaknya Ambar. Perjalanan yang seharusnya cuma sehari jadi tiga hari. Tiga hari yang (seharusnya) merubah hidup mereka.
3 Hari Untuk Selamanya (seharusnya) sejiwa dengan film-film yang berjalan karena disetir lebih oleh karakter-karakternya ketimbang plot (bahasa pinternya “character-driven“, katanya sih) yang (seharusnya) menarik penonton ke dalam dunia yang didiami karakter-karakternya dengan atmosfer yang pekat, dengan musik yang menghanyutkan (atau tanpa musik sama sekali) dan ide-ide yang dengan kuat mencuatkan kegelisahan karakter-karakternya. Lihatlah lagi Y Tu Mama Tambien, Lost in Translation, Waking Life, atau (kalau anda beruntung) Chuck & Buck di mana dua dari filmmaker favorit kami, Chris Weitz dan Paul Weitz yang bertanggung jawab atas film-film supercool seperti About A Boy dan American Pie berperan sebagai aktor.
Riri Riza patut diberi pujian karena konsisten membuat film karena ingin menyuarakan sesuatu ketimbang jadi pedagang film dan karena mau mengambil resiko menangani genre di negeri di mana bahkan reviewer dari media paling top saja nge-bash film ini karena “tidak ada ceritanya”.
Riri juga berhak atas kredit karena berhasil membuat road movie yang lebih berhasil ketimbang road movie yang dielu-elukan sebagai salah satu milestone perfilman Indonesia yang berjudul Cinta Dalam Sepotong Roti yang sepretensius judulnya.
Masalahnya, 3 Hari Untuk Selamanya belum berhasil menjadi sajian yang solid. Saat di beberapa sisi oke banget, di sisi lain masih kurang ngaceng.
Nicholas Saputra dan Adinia Wirasti berhasil menciptakan penampilan duo yang cukup megang, rileks, dan sangat believable. Sayangnya, pilihan para pemain pendukungnya terasa mengganggu. Selain Agus Ringgo Rahman yang lebih over-exposed dari bulu dada Jeremy Thomas (atau lipgloss-nya Jeremy Teti), pemunculan Tarsan sebagai Pak Haji mesum lebih disturbing ketimbang amusing.
Kalau sebagian besar penonton dan reviewer secara koor bilang “flaaaaat…” sebenarnya tidak bisa disalahkan juga. Bahkan momen yang paling berhasil di film ini at best saja masih terasa kayak kopi decaf (sok ye banget dah, gue). Dalam hal ini yang paling bertanggung jawab adalah sutradara dan penulis skenario. Penulis skrip Sinar Ayu Massie sudah cukup cerdas tidak terjebak untuk memberikan Nicholas dan Adinia karakter-karakter yang stereotip. Sekalipun keduanya seharusnya bertolak belakang, yang satu gaul banget dan into free sex, tapi yang lebih tidak gaul tidak digambarkan culun. Tapi dialog-dialog yang diberikan ke mereka lebih bikin geli ketimbang jujur. Bukankah kalimat “orang yang gagal adalah orang nggak pernah mencoba” lebih cocok dibaca di kartu Harvest ketimbang di film yang maunya cerdas dan cool? Justru kami tidak punya masalah dengan dialog-dialog yang katanya remeh temeh, asal sutradaranya bisa membuatnya jadi amusing buat diikuti kayak film Don’t Come Knocking (ada kok di Menteng). Sayangnya, ini yang nggak selalu berhasil dibangun Riri Riza.
Film-film sejenis 3 Hari Untuk Selamanya biasanya, sekalipun di permukaan tenang, mengeluarkan aura dan energi yang dihasilkan dari kegelisahan yang dirasakan dan ingin diventilasikan oleh filmmakernya. Lost in Translation adalah hasil dari kesepian yang dirasakan Sofia Coppola atas perkawinannnya yang gagal bersama Spike Jonze (katanya). Easy Rider adalah kegelisahan Dennis Hopper dan Peter Fonda tentang hidup di Amerika pada jaman itu. Untungnya lagi, kedua film itu didukung oleh soundtrack berisi lagu-lagu berenergi eksplosif. Sayang sekali lagu-lagu Float yang mengisi 3 Hari Untuk Selamanya terlalu nge-float untuk mampu memberi power pada film ini.
Tapi film ini bukan sepenuhnya merupakan kegagalan. Film ini bahkan lebih baik dari Gie dan masih memiliki momen-momen precious, terutama yang dihasilkan dari interaksi Nicholas-Adinia. Dan setelah menyaksikan film-film sampah yang neverending, film ini memberikan setitik pencerahan dan Riri Riza layak diberikan penghargaan untuk mencoba.

3 komentar:

Yohana is Jhow' mengatakan...

great film...
salut ama Adinia n Nicholas Saputra..

lisa mengatakan...

asyikk dah,,,,,,, jhow,,,,

keren ,,,,,,,,

tp da foto sypa tu,,,

Yohana is Jhow' mengatakan...

terimakasih lisong..hoho
kamu lebih keren noh..pake tautan segala..aku mah pake autan..hehe